Kuliah sore bagiku sangat melelahkan. Aku sudah dari jam tujuh pagi menempelkan tulang dudukku yang dibungkus oleh daging tebal ini di bangku berwarna hitam ini. Aku benar-benar lelah, apalagi bokongku. Andai saja ia bisa berbicara pasti umpatan-umpatan dahsyat akan terus mengucur dari bibirnya. Dudukku pun semakin terasa tak nyaman. Sudah berbagai posisi aku coba agar aku bisa menikmati kuliah yang tinggal lima menit ini. Tapi rasanya sia-sia. Tak ada posisi yang lebih baik lagi dari posisi menjelujur. Aku berharap bapak dosen yang kiranya telah berusia lima puluh empat tahun ini bisa mengerti penderitaan kami dan bisa segera mengakhiri pembicaraanya.
”kira-kira ada pertanyaan?” beliau diam sejenak, lalu menarik nafas panjang setelah tak satupun dari kami mengangkat tangan kami untuk bertanya.
”baiklah kalau begitu, sepertinya kalian sudah benar-benar capek. Ya sudah, kalau begitu kita akhiri saja kuliah di siang hari ini.”
”sore Pak...” kami serentak berteriak. Kami ingat betul jam berapa ini. Karena dari pagi sampai jam setengah enam ini kami hanya beristirahat sekitar setengah jam saja.
Aku segera mengemasi buku-buku dan alat tulisku yang berserakan di meja. Aku masukkan semuanya ke dalam tas dan meraihnya, lalu beranjak dari kursiku, kursi yang amat sangat menyiksa pantatku.
”Dinda, kamu mau kemana? Tergesa-gesa sekali?” Vivian mengahadang tepat di depanku.
”aku mau balik ke kos dulu, aku benar-benar lelah.”
”bukannya kita harus mengerjakan tugas dulu ya?” ya Tuhan, bagaimana aku bisa lupa kalau aku punya begitu banyak tugas yang menanti untuk diselesaikan?
”Vi, aku boleh ijin gag kali ini? Aku benar-benar lelah, badanku rasanya tak memiliki sedikit tenaga pun.”
”ehm.... bagaimana ya, kita kan sudah terlanjur bikin janji hari ini. Minggu depan kita presentasi loh..”
”aku tahu, aku benar-benar minta maaf, aku benar-benar capek hari ini. Please....”
Vivian memandang aku penuh selidik, matanya yang sipit melihatku tajam.
”oke deh......hahahahahahaha... kamu ini Din, kenapa harus seserius itu sih. Ya udah pulang sono gih. Istirahat. Biyar besok fresh, gak kucel kayak gini.”
”sialan. Ya udah aku pulang dulu ya,,”
”ati-ati Din!”
Aku benar-benar tidak seratus persen saat ini. Seluruh persendianku rasanya sudah melencong dari tempat aslinya. Otakku juga tak bisa bekerja dengan baik saat ini. Aku berjalan sedikit tergesa. Apalagi saat aku tahu mendung tipis mulai menyelimuti Surabaya di musim penghujan ini. Aku raba tasku. Aku lupa tidak membawa payung. Jadi, yang harus aku lakukan adalah mempercepat langkahku agar segera sampai di kosan. Mungkin memang benar pepatah lama itu. Sedia payung sebelum hujan. Tapi baiklah, aku akan sampai di kosan sebelum hujan turun. Aku benar-benar mempercepat langkahku, tanpa menggubris keadaan dan orang-orang yang mrnyapa aku. Benar saja, aku tidak mencium bau-bau hujan turun, tapi begitu aku sampai di depan kosku, gerimis mulai menampakkan dirinya. Wangi tanah basah mulai menelusup hidung. Ini adalah wewangian khas sang hujan. Aku hafal betul harumnya. Aku suka sekali hujan, alam terlihat lebih tenang, syahdu. Katak-katak mulai menyanyikan lagu-lagu ciptaannya, menambah suasana hujan semakin memikat. Aku segera naik keatas,menuju kamarku. Ku taruh tasku di sembarang tempat. Aku sedang tidak berminat jadi orang rajin sekarang ini. Aku ingin bermalas-malasan dan menikmati aroma hujan sore ini.
Aku berjalan menuju balkaon yang tidak jauh dari kamarku. Sepi. Anak-anak kos yang lain sedang kuliah, atau kalau tidak kuliah pasti mereka sekarang sedang tertidur pulas diselimuti hawa dingin yang ditawarkan oleh Sang hujan. Aku duduk di kursi yang ada, sambil mengamati tetes-tetes air hujan yang jatuh dari langit. Kupandangi setiap titik hujan yang jatuh ke tanah dan hilang begitu saja. Hilang seperti kisah cintaku yang kini sepeti rintikan air hujan itu. Hilang tanpa bekas.
”aku sangat suka dengan hujan Din.”
”kenapa kau suka hujan?”
”karena hujan itu menetramkan, seperti kamu.” Ridho mencium keningku, mesra sekali kecupan yang ia daratkan itu.
”Adinda, kau seperti hujan yang selalu menentramkan hatiku, kau juga seperti pelangi yang selau memberi warna dalam hidupku.”
”kamu pintar sekali nggombal.”
”serius, sejak aku ketemu kamu aku merasa hidupku jadi lebih berharga, lebih punya taste. Hahahhahahah”
Aku terkenang dulu, saat Ridho masih milikku. Saat ia sepenuhnya mencintaiku, bukan milik orang lain. Tapi, sekarang sudah tak ada lagi seorang Ridho yang bisa menemaniku melihat hujan dan indahnya pelangi. Ridho, dimana kamu sekarang? Aku benar-benar merindukanmu.
”Dinda, kamu sayang gak sama aku?”
”sayang, sayang banget malah.”
”kalau gitu apa bukti kamu sayang sama aku?”
”ehm.... apa ya? Apa dong..?” aku pura-pura mikir.
”gak tahu lah, katanya kamu sayang sama aku?”
”iya, aku sayang banget sama kamu Ridho.”
”kalau gitu kamu cium aku gih!”
Aku diam sejenak, aku tidak yakin dengan apa yang dikatakannya. Tapi apa boleh buat, ia menarik tanganku dan mendekatkan bibirnya ke bibirku. Ia memandang mataku yang masih belum yakin dengan apa yang dilakukanya.
”kenapa, kamu tidak mau menciumku?” aku masih diam. Aku baru dua bulan berpacaran dengannya, tapi aku sangat mencintainya. Lebih dari apapun.
”tenang aja, ciuman gak bikin hamil kok” dia tersenyum meledekku. Tatapan matanya seakan menghinaku, hei Dinda kamu adalah cewek yang begitu kolot.
”bagaimana Din? Masih tidak mau menciumku?” ia masih meledekku.
”ayolah! Ini tidak akan membuatmu hamil!”
Aku semakin tertantang dengan gurauannya yang menghina itu. Aku memegang kedua pipinya lembut, mengusapnya dengan penuh rasa. Aku muncium kedua pipinya itu, lalu kudekatkan bibirku dengan ujung bibirnya. Aku kecup bibirnya perlahan. Manis. Aku terus mengecupnya, mulai membuka sedikit celah di bibirnya, mengulum bibirnya yang terasa amat lembut, aku begitu menikmati setiap isapan yang ia lakukan di bibirku, isapan lembut yang terasa begitu hangat.
Hangat yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuat tubuh ini terasa panas, panas oleh gairah. Tangannya mengelus rambutku pelan, mengelus punggungku dan mendekatkannya hingga tubuhku benar-benar menempel dengan tubuhnya. Ia terus mengelus tubuhku, lembut. Ia menarikku lebih dalam dan ia menjatuhkan dirinya di lantai. Aku melepas bibirku. Ia tersentak kaget.
”kenapa Din? Apa aku menyakitimu?” aku menggeleng, aku tertunduk. Aku sedikit canggung dengan posisi seperti itu, kenapa tidak berciuman biasa saja, dengan posisi duduk yang manis. Sebagai gadis desa, jujur saja aku masih pertama kali berciuman, apalagi ini ciuman bibir. Untuk melakukannya saja aku sudah ketakutan, apalagi ditambah dengan posisi tumpang tindih seperti itu.
”hei, kenapa kau ini? Tenang saja, ini akan terasa begitu nikmat sayang, percayalah, kau percaya kan kalau aku mencintaimu?”
Aku mengangguk pelan.
”oke, kemarilah sayang, aku ingin memelukmu.”
Aku mendekatkan diriku kepadanya, merapatkan diri dalam pelukanya, menyandarkan tubuhku pada dadanya yang bidang. Aku merasa begitu tenang saat ia mendekapku seperti itu, mencium aroma tubuhnya dan menyandarkan kepala ini di dadanya. Lalu ia mengecup keningku pelahan. Aku merasakan kelembutan di setiap kecupan yang ia berikan kepadaku.
”Ridho, kau benar-benar mencintaiku?” ia melepaskan pelukannya dan menatapku.
”kenapa kau bertanya seperti itu? Kau tidak percaya kepadaku kalau aku benar-benar mencintaimu?” nada suaranya terdengar agak meninggi.
”bukan, bukan begitu, tapi aku benar-benar ingin meyakinkan diriku kalau kau benar-benar mencintaiku, karena kau sangat mencintaimu. Aku rela memberikan apa saja untukmu”
”apasaja?”
”apa saja. Apapun yang ku punya.”
Aku berusaha meyakinkannya. Ridho mengecup keningku lagi, memelukku semakin erat, aku benar-benar merasakan kehangatan dari lelaki ini. Lelaki yang baru enam bulan yang lalu aku kenal. Ia benar-benar berbeda dengan para laki-laki yang selama ini mendekatiku. Ia bukan orang yang suka obral janji, ia selalu menepati setiap kata yang mengucur dari bibirnya. Ia bukan laki-laki hidung belang seperti para lelaki yang selama ini mendekatiku. Ia benar-benar memperlakukanku seperti seorang putri raja, tak pernah sedetik pun ia terlambat menjemputku. Tak pernah sekalipun ia tak mengucap kata sayang kepadaku. Tak pernah diri ini terlambat mendengar suaranya di pagi hari. Ia lelaki yang istimewa. Benar-benar istimewa.
Ia mendekapku erat, seakan tak mau aku jauh darinya, dekapan hangatnya yang berubah dari menjadi dekapan panas seoang lelaki. Ia menciun keningku, mataku, pipiku, hidungku, dan berakhir di bibirku. Ia mengecup bibir ini sekejap, alu mengulumnya, mengulumnbya penuh birahi, tak lagi lembut, tapi berapi-api. Tangannya terus menggerayangi tubuhku. Meraba, mengelus, meremas. Aku mulai terpancing gairah yang telah ia sulutkan, meraba setiap lekuk tubuhnya, m,encium setiap jengkal awaknya, menjilati semua bagian tubuhnya. Ia mendesah, halus sekali ia bisikkan keapadaku, desahan orang yang meyayangiku. Ia terus meremasku, mecumbuku. Tangan yang tadinya meremas-remas tubuhku itu tiba-tiba menghilang. Aku terus meikmati setiap kecupan yang ia berikan kepadaku, semakin menikmatinya. Aku benar-benar terlena dalam buaian nikmat, sampi aku rasakan ada sentuhsn-sentuhan halus yang meraba pahaku, aku semakin tersulut dengan sentuhan halusnya. Ia mulai meraba bagian yang eselama ini di jaga oleh para wanita, bagian yang takkan kubiarka seorangpun menjamahnya, begitu pula dengan Ridho. Aku berusaha menyingkirkan tangannya itu, tapi tenaganya terlalu kuat, dan.........
Aku tersentak dalam lamunanku. Aku segera sadar bahwa aku tidak di masa itu lagi. Masa yang telah merenggut harga diriku sebagai seorang wanita. Aku menggigil setiap kali mengingat kkejadian itu. Aku takut, aku marah, aku hina, aku nista, aku tidak ubahnya seorang perek kaki lima, aku sudah ternoda, aku benar-benar hina. Aku tak berani menceritakan hal ini kepada siapapun, cukup aku yang menyimpan semua luka ini, luka yang telah meninggalkan bekas yang tak bisa aku hapus, sedang orang yang melukaiku tak pernah tahu keman ia melangkahkan kakinya.